sentana bali

sentana bali

Tradisi Nyentana di Bali, Kerap Dilakukan Namun Tak Semua Yakin dengan Kepastian Hukum Nyentana adalah sebuah tradisi yang kerap terlihat di Tabanan, Bali. Namun, tidak semua orang tahu apa sebenarnya nyentana itu. Nyentana adalah istilah yang berkaitan erat dengan perkawinan adat Bali. Dalam perkawinan ini, keluarga mempelai perempuan akan meminang seorang pria untuk dijadikan suaminya dan selanjutnya pasangan tersebut tinggal bersama di rumah si gadis. Keturunan mereka pun akan menjadi milik dan meneruskan garis keturunan keluarga istri. Namun, bagaimana kedudukan hukum dari perkawinan nyentana di Bali? Apakah perkawinan ini sah, mengingat bahwa dalam perkawinan nyentana, kedudukan antara suami dan istri bertukar posisi? Apakah Undang-Undang Perkawinan Indonesia mampu mengakomodasi perkawinan ini, khususnya dalam pencatatan di catatan sipil? Hal-hal tersebut masih menjadi perdebatan di masyarakat adat Bali dan belum ada kepastian hukum yang jelas terkait hal tersebut. Perkawinan nyentana ternyata merupakan penyimpangan dari sistem kekerabatan patrilineal di Bali. Pelaksanaan perkawinan ini bertujuan untuk melanjutkan garis keturunan dari keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Namun, dalam konteks masyarakat Bali yang mengedepankan peran laki-laki, kegagalan memiliki anak laki-laki dianggap sebagai kesalahan pihak perempuan. Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa tokoh agama dan masyarakat Bali mencoba mengikis praktik ketidakadilan gender tersebut dengan memanfaatkan aturan adat dan lembaga Sentana Rajeg yang ada. Pada hukum adat Bali, pengangkatan anak dikenal dengan beberapa istilah seperti meras pianak atau meras sentana. Kata sentana berarti anak atau keturunan dan kata meras berasal dari kata peras yaitu semacam sesajen atau banten untuk pengakuan/pemasukan si anak ke dalam keluarga orang tua angkatnya. Masyarakat Bali secara umum menganut sistem kebapaan (Vederrechtelijk) atau dalam istilah Bali disebut Purusa. Hal utama yang dipahami dari sistem kebapaan di Bali adalah mengemukaannya kedudukan anak laki-laki sebagai sentana dari garis keluarga purusa. Meski begitu, konsep kewarisan pada masyarakat adat Bali sebenarnya masih relevan dan perlu dipertahankan, tetapi kedudukan perempuan perlu mendapat perhatian dalam pewarisan. Hal ini karena anak perempuan hanya berhak menikmati harta orang tuanya selama ia belum menikah. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan dari hukum negara dan hukum adat waris Bali agar hal tersebut dapat terakomodasi dengan adil dan merata. Sebagai kesimpulan, tradisi nyentana di Bali memang kerap dilakukan namun masih belum jelas kepastian hukumnya. Namun, beberapa tokoh agama dan masyarakat Bali mencoba mengikis praktik ketidakadilan gender dengan memanfaatkan aturan adat dan lembaga Sentana Rajeg yang ada. Diperlukan terobosan dari hukum negara dan hukum adat waris Bali agar hal tersebut dapat terakomodasi dengan adil dan merata, serta memperhatikan kedudukan perempuan dalam pewarisan.